Rabu, 12 Desember 2007

TENTANG ZIARAH WALI SONGO

Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
Di negeri kami terdapat kuburan seseorang yang
disebut-sebut sebagai orang shalih. Diatas kuburan itu
dibangun sebuah bangunan yang indah dan dihiasi dengan
hiasan-hiasan yang sempurna. Ada orang-orang yang
menjadi penunggunya yang disebut sebagai pewaris
jabatan penunggu kubur tersebut secara turun temurun.
Mereka menyeru manusia dengan berkata : “Sesungguhnya
penghuni kuburan ini pada malam ini telah berkata
begini dan begitu, dan meminta ini”. Orang-orang yang
tinggal di sekitar kuburan itu kemudian terpikat
hatinya dan meyakini setiap yang dikatakan penunggu
kuburan tersebut. Akhirnya, mereka melakukan taqarrub
(mendekatkan diri), thawaf (berkeliling), dan
penyembelihan hewan (di kuburan tersebut) serta
hal-hal lain. Apa hukum mereka yang meyakini bahwa
wali (penghuni kuburan) tersebut mampu mendatangkan
manfaat atau madharat ? Apa saja kewajiban orang yang
mengetahui bahwa hal-hal yang seperti itu bertentangan
dengan syariat, sementara dia tinggal bersama mereka ?

Jawaban.
Petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tenatng ziarah kubur telah dijelaskan di dalam
hadits-hadits yang shahih. Di antaranya hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahih-nya
dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering
mengajarkan kepada mereka (para sahabatnya) jika
mendatangi pekuburan agar mengucapkan.

“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni
kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Kami insya
Allah akan menyusul kalian. Kalian adalah pendahulu
kami. Aku meminta kepada Allah kesejahteraan untuk
kami dan kalian” [Ahmad II/300, 375,408.
V/353,359,360. VI/71,76,111,180,221. Muslim dengan
Syarh Nawawi VII/44,45. Nasa’i IV/94 dan Ibnu Majah
I/494]

Imam Ahmad dan Tirmidzi –dan dia menyatakan hasan-
meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melewati pekuburan Madinah, maka beliau menghadapkan
wajahnya ke arah pekuburan itu dan berkata.

“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni
kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian
pendahulu kami dan kami akan mengikuti” [Hadits
Riwayat Tirmidzi III/369]

Para Khalifah yang Empat dan sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang lain serta Tabi’in yang
mengikuti mereka dengan baik telah menjalankan
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.

Mereka yang mendatangi penghuni kubur itu, jika mereka
melakukannya untuk berdoa kepada Allah di sisi kubur
tersebut dengan sangkaan bahwa yang demikian itu lebih
bermanfaat dalam berdo’a, sekaligus dengan tujuan
ber-tawassul (menjadikannya sebagai perantara) dan
meminta syafaat dengannya, maka yang demikian ini
tidak ada dalam syariat agama. Sedangkan wasilah
(sarana/perantara) memiliki hukum yang sama dengan
hukum tujuan dalam hal pelarangan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.

“Artinya : Katakanlah, ‘Serulah mereka yang kamu
anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan
di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun
dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali
tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu
bagiNya” [Saba : 22]

Ayat ini menunjukkan bahwa (ilah/sesembahan) yang
diseru (selain Allah) bisa jadi memiliki (kekuasaan di
langit dan bumi) atau bisa pula tidak. Jika dia tidak
memiliki, maka bisa jadi dia adalah sekutu (bagi Allah
dalam kekuasaanNya itu), atau bisa juga bukan. Jika
dia bukan sekutu (bagi Allah), bisa jadidia pembantu
(bagi Allah), atau bisa juga bukan. Jika dia bukan
pembantu (bagi Allah), maka bisa jadi dia adalah
pemberi syafaat tanpa –harus mendapat- izin dari
Allah, atau bisa pula bukan. Dan keempat macam (yang
diseru) ini adalah batil, tidak bisa diterima. Lalu
yang terakhir jelas bahwa pemberi syafaat tidaklah
dapat memberi syafaat melainkan denan izin-Nya (dan
ini syarat pertama, pent). Sedangkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang berikut.

“Artinya : Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan
kepada orang-orang yang diridhai Allah” [Al-Anbiya :
28]

Menunjukkan bahwa keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada yang disyafaati –juga- merupakan sarat. Inilah
dua syarat (dalam memperoleh) syafaat.

Para sahabat Radhiyallahu ‘ajmain dahulu tidaklah
ber-tawassul dengan zat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Yang mereka lakukan adalah meminta Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya mendo’akan
mereka. Jadi, memita tolong kepada orang yang hadir
(ada di tempat), masih hidup lagi mampu memberi
bantuan adalah dibolehkan, namun tidak boleh meminta
sesuatu yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Ini
untuk orang yang masih hidup. Adapun orang yang sudah
mati, tidak boleh ber-tawassul dan meminta syafaat
kepadanya secara mutlak, bahkan itu merupakan salah
satu di antara perantara-perantara menuju kesyirikan.

Adapun orang yang ber-I’tikaf (tinggal berdiam) di
kuburan tersebut, maka (keadaannya) tidak lepas dari
dua perkara yang berikut.

Pertama.
Tujuannya, ber-it’ikaf disana adalah untuk beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka yang seperti
ini tidak boleh dilakukan karena padanya terkumpul dua
bentuk kemaksiatan (penyelewengan), yaitu bermaksiat
ber-ukuf (tinggal dikuburan) dan maksiat beribdah
kepada Allah di kuburan karena yang demikian itu
merupakan wasilah (mengantarkan kepada) syirik yang
dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Adapun tentang keharaman ber-‘ukuf, Tirmidzi di dalam
kitab Jami-nya dalam sebuah hadits yang dinyatakan
shahih meriwayatkan dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia
berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menujua Hunain ketika
kami belum lama (meninggalkan) kekafiran. Sementara
itu, orang-orang musyrik memiliki sebatang Sidrah
(jenis pohon) yang biasa mereka jadikan tempar
ber-ukuf (berdiam) dan menggantungkan senjata-senjata
mereka padanya, yang mereka sebut dengan Dzatu Anwat,
maka (ketika) kami melewati sebatang pohon Sidrah
(yang lain), kami berkata : “Ya Rasulullah
Shalallallahu ‘alaihi wa sallam adakan untuk kami
Dzatu Anwat sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwat,
maka berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam.

“Artinya : Allahu Akbar, sesungguhnya yang demikian
adalah tradisi. Perkataan kalian, demi zat yang jiwaku
di tangannya, sebegaimana perkataan Bani Israil kepada
Musa. ‘Jadikan untuk kami tuhan-tuhan sebagaimana
mereka memiliki tuhan-tuhan. (Musa) berkata,
‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh [1]”
Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang
sebelum kalian” [Hadits Riwayat Ahmad V/218, Tirmidzi
IV/475]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa
perkara yang mereka minta, yaitu menjadikan pohon
sebagai temopat ‘ukuf (berdiam) dan menggantungkan
senjata untuk mendapatkan berkah, adalah serupa dengan
permintaan yang diajukan oleh Bani Israil kepada Musa
“Alaihis Salam, maka demikian pula ‘ukuf (berdiam) di
kubur. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata, “Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah kalian jadikan rumah kalian
sebagai kuburan dan jangan jadikan kuburku senagai
tempat perayaan, dan bersalawatlah atasku,
sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku
bagaimanapun keadaan kalian” [Hadits Riwayat Tirmidzi
V/157, Abu Dawud II/534, dan Ibnu Majah I/348 di dalam
Sunan]

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/1492-498, Fatwa no.
315 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy,
Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah
Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H]

Rabu, 05 Desember 2007

TRADISI HAUL (versi NU)

Peringatan haul (kata "haul" dari bahasa Arab, berarti setahun) adalah peringatan kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan utama untuk mendoakan ahli kubur agar semua amal ibadah yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Biasanya, haul diadakan untuk para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh untuk sekedar mengingat dan meneladani jasa-jasa dan amal baik mereka.

Haul yang penting diadakan setiap setahun sekali dan tidak harus tepat pada tanggal tertentu alias tidak sakral sebagaimana kita memperingati hari ulang tahun. Hari dan tanggal pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang berhubungan acara-acara lain yang diselenggarakan bersamaan dengan peringatan haul itu.

Para keluarga mengadakan acara haul pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama keluarga, pada saat mereka mempunyai waktu senggang dan bisa berkumpul bersama. Di pesantren-pesantren, haul untuk para pendiri dan tokoh-tokoh yang berjasa terhadap perkembangan pesantren dan syi’ar Islam diadakan bersamaan dengan acara tahunan pesantren, semisal khataman kitab akhir tahun, pertemuan wali santri, atau dzikir akbar tahunan.

Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan: Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)

Hadits lain diriwayatkan oleh Al-Wakidi bahwa Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah, hlm. 394-396)

Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II hlm. 18 menjelaskan, para sahabat dan ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul sedianya diisi dengan menuturkan biorafi orang-orang yang alim dan saleh guna mendorong orang lain untuk meniru perbuatan mereka

Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. (A. Khoirul Anam)

*Kutipan hadits dan qoul ulama dalam tulisan ini diambil dari buku "Tradisi Orang-Orang NU" yang ditulis oleh H. Munawwir Abdul Fattah yang telah ditashhih oleh KH. A. Muhith Abdul Fattah, KH Maghfoer Utsman, dan KH. Masdar Farid Mas’udi, Diterbitkan oleh Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2006.


Komentar :
Tuh lagi2 hadist diartikan seenaknya

BERJABAT TANGAN SEUSAI SHOLAT ( versi NU)

Berjabat Tangan Usai Sholat
23/07/2007

Sudah berlaku di masyarakat kita, setelah selesai sholat berjama’ah, satu sama lain saling bersalaman. Apakah itu ada dasar hukumnya, lantas apa faedahnya?

Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan semakin kuat, persatuan semakin kokoh. Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman ketika bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang datang dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan juga saling berangkulan (mu’anaqah).

Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, Rasulullah SAW bersabda bahwa dua orang yang bertemu dan bersalaman akan diampuni dosa mereka sebelum berpisah. (HR Ibnu Majah)

Berdasarkan hadits inilah ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid’ah (hal baru) karena tidak ada penjelasan mengenai keutamaan bersalaman usai sholat, maka bid’ah yang dimaksud di sini adalah bid’ah mubahah, yang diperbolehkan. (Soal bid’ah, lihat penjelasannya dalam fasal tentang bid’ah).

Imam Nawawi menyatakan, bersalaman sangat baik dilakukan. Sempat ditanyakan, bagaimana dengan bersalaman yang dilakukan usai shalat? Menurut Imam Nawawi, salaman usai shalat adalah bid’ah mubahah dengan rincian hukum sebagai berikut: Jika dua orang yang bersalaman sudah bertemu sebelum shalat maka hukum bersalamannya mubah saja, dianjurkan saja, namun jika keduanya berlum bertemu sebelum shalat berjamaah hukum bersalamannya menjadi sunnah, sangat dianjurkan. (Dalam Fatâwî al-Imâm an-Nawâwî)

Bahkan sebagian ulama mengatakan, orang yang sholat itu sama saja dengan orang yang ghaib alias tidak ada di tempat karena bepergian atau lainnya. Setelah sholat, seakan-akan dia baru datang dan bertemu dengan saudaranya. Maka ketika itu dianjurkan untuk berjabat tangan. Keterangan ini diperoleh dari kita Bughyatul Muytarsyidîn.

Jadi bisa disimpulkan, hukum bersalaman usai shalat adalah mubah atau boleh, bahkan menjadi sunnah jika sebelum shalat kedua orang yang bersalaman belum bertemu.

KH. Muhyiddin Abdusshomad
Ketua PCNU Jember, Jawa Timur


Jawaban :
Darimana meneka menetapkan hukum? koq dikatakan sunnah, mubah...????

JILBAB SYAR'I dan JILBAB FUNKY

Sumber : JILBAB dikutip oleh Othman Moh.Makki

Sesungguhnya agama Islam memerintahkan setiap orang muslim agar mencintai saudaranya bagaikan mencintai dirinya sen- diri, kemudian menghindari mereka dari keburukan sebagaimana ia menghindarkan diri daripadanya, nasehat menasehati demi men- ta'ati kebenaran yang telah didatangkan dari Allah dan Rasul-Nya, baik itu berupa perintah maupun larangan, dengan hati rela mematuhinya.

Di saat agama Islam tiba dan kaum Jahiliyah membenci bayi perempuan, bahkan tega buah hati sendiri dikubur hidup-hidup, tidak memberikan harta warisan kepada wanita, terkadang mem- pusakai wanita bagaikan harta yang lain dengan jalan paksa.

Maka Allah serta Rasul-Nya melarang perbuatan keji ter- sebut, menjaga dan mengangkat derajat wanita bagaikan mutiara berharga, dengan memberikan hak-haknya sebagaimana agama menghormati dan memberikan hak-haknya kepada seorang lelaki.

Demi kesucian masyarakat serta demi keutuhan dan kehor- matan seorang muslimah dari kemaksiatan dan dari kecerobohan orang jahil, maka Islam menganjurkan perkawinan dan mengharam- kan perbuatan zina. Maka demi kesucian dan keutuhan, Allah Maha Penyayang memerintahkan para muslimah agar mengenakan hijab (jilbab), supaya berada di sisi Allah, dan ditempat sejauh mungkin dari perbuatan keji yang dapat menimpa pada diri kaum muslimah.

Simak baik-baik ayat Al Qur'an ini : "Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan pehiasaannya kecuali yang biasa nampak dari pandangan. Dan hen- daklah mereka menutupkan kainkerudung ke dadanya, dan jangan- lah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau keapda ayah mereka, atau putra-putra mereka, atau saudara- saudara mereka, atau putra-putra suami mereka, atau wanita- wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan- pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap? kaum wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat kaum wanita. dan janganlah mereka memukul kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (Qs An Nur : 31)

Bagaimana jilbab yang dimaksud dalam ayat diatas,? setidaknya harus memenuhi syarat-syarat hijab atau jilbab sebagai berikut? dan inilah jilbab yang syar'i dan benar :

Menutupi seluruh tubuh, sebagaimana yang difirmankan Allah, "Hendaklah mereka itu mengeluarkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (Qs Al Ahzab : 59)
Maksud daripada berhijab adalah? untuk menutup tubuh wanita dari pandangan laki-laki. Jadi, bukan yang tipis, yang pendek, yang ketat, tau berkelir serupa dengan kulit, mau- pun yang bercorak dan yang bersifat mengundang penglihat- an laki-laki.
Harus yang longgar, sehingga tidak menampakkan tempat- tempat yang menarik pada anggota tubuh.
Tidak diberi wangi-wangian, hal ini telah diperingatkan oleh Rasulullah saw : "Sesungguhnya seorang wanita yang memakai wangi- wangian kemudian melewati kaum (laki-laki) bermak- sud agar mereka mencium aromanya, maka ia telah melakuk- an perbuatan zina". (HR Tirmidzi)
Pakaian wanita tidak boleh menyerupai laki-laki, "Nabi saw melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian wanita, dan seorang wanita yang mengenakan pakaian laki-laki". (HR Abu Dawud dan An Nasai).
Tidak menyerupai pakaian orang kafir, "Siapa yang meniru suatu kaum, maka ia berarti dari golongan mereka". (HR Ahmad)
Berpakaian tanpa bermaksud supaya dikenal, baik itu dengan mengenakan pakaian yang berharga mahal maupun yang mu- rah, jika niatnya untuk dibanggakan karena harganya atau- pun yang kumal jika bermaksud agar dikenal sebagai orang yang ta'at (riya'). "Siapa yang mengenakan pakaian tersohor (bermaksud supaya dikenal) di dunia, maka Allah akan mem- berinya pakaian hina di hari Kiamat, lalu dinyalakan apa pada pakaian tersebut." (HR Abu Dawud)
Sungguh fenomena jilbab pada saat sekarang, membuat kita di satu sisi patut bersyukur, wanita sudah tidak malu lagi untuk berjilbab di manapun tempatnya sehingga jilbab benar-benar telah membudaya di masyarakat dan dianggap sesuatu yang lumrah.Namun di sisi lain jilbab yang sesungguhnya harus memenuhi prasyarat jilbab syar'i sebagaiman tersebut di atas seakan telah berubah fungsi dan ajaran, banyak sekali dan telah? bertebaran dimana-mana jilbab yang bukan lagi syar'i tapi lebih terkesan trendy dan mode atau lebih dikenal dengan jilbab funky yang kebanyakan dari semua itu adalah menyimpang dari syarat-syarat syara' jilbab yang sebenarnya.

Diantara penyimpangan-penyimpangannya? yang ada, antara lain :

Tidak ditutupnya seluruh bagian tubuh. Seperti yang biasa dan di anggap sepele yaitu terbukanya bagian kaki bawah, atau bagian dada karena jilbab diikatkan ke leher, atau yang lagi trendy,? remaja putri? memakai jilbab tapi lengan pakaiannya digulung atau dibuka hingga ke siku mereka.
Sering ditemui adanya perempuan yang berjilbab dengan pakaian ketat, pakaian yang berkaos, ataupun menggunakan pakaian yang tipis, sehingga walaupun perempuan tersebut telah menggunakan jilbab, tapi lekuk-lekuk tubuh mereka dapat diamati dengan jelas.
Didapati perempuan yang berjilbab dengan menggunakan celana panjang bahkan terkadang memakai celana jeans. Yang perlu ditekankan dan telah diketahui dengan jelas bahwa celana jeans bukanlah pakaian syar'i untuk kaum muslimin, apalagi wanita.?
Banyak wanita muslimah di sekitar kita yang memakai jilbab bersifat temporer yaitu jilbab dipakai hanya pada saat tertentu atau pada kegiatan tertentu, kendurian, acara pengajian kampung dsb, setelah itu jilbab dicopot dan yang ada kebanyakan jilbab tersebut sekedar mampir alias tidak sampai menutup rambut atau menutup kepala.
Terkadang, kalau ditanyakan kepada mereka, mengapa kalian berbuat (melakukan) yang demikian, tidak memakai jilbab yang syar'i, padahal telah mengetahui bagaimana jilbab yang syar'i, sering didapati jawaban, "Yaa, pengen aja ", atau "Belum siap ", atau "Mendingan begini daripada tidak memakai jilbab sama sekali ", atau " Jilbab itu khan tidak hanya satu bentuk, jilbab khan bisa dimodofikasi yang penting khan menutup aurat " terkadang didapati juga jawaban, "Kok kamu yang ribut, khan emang sudah menjadi mode yang seperti ini!"

Padahal, dituntutnya jilbab dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan hukum syara' yang disebutkan di atas, sesungguhnya akan membawa kebaikan bagi kita sendiri, baik di dunia maupun di akhirat dan bukan didasari atas nafsu atau ditujukan untuk mengekang kita.

?Janganlah sampai suatu kaum, dimana mereka meremehkan perempuan-perempuan/muslimah yang berjilbab hanya karena memakai pakaian/jilbab yang tidak sesuai dengan hukum syara'.?

Apabila kaum telah meremehkan hal ini, maka bagaimana dengan pandangan (penilaian) Allah dan Rasul -Nya terhadap wantia yang seperti ini ? Tidakkah ada bedanya antara perempuan yang berjilbab dengan perempuan yang tidak berjilbab ?